FLORES, PERMATA SUNDA KECIL YANG SIAP BANGKIT

Latar Belakang Nama

Almarhum Pater Piet Petu, SVD, seorang antropolog asli Flores yang mempelajari manusia Flores mengatakan bahwa nama yang  lebih tradisional dan indigenious untuk pulau Flores adalah Nusa Nipa. Nama itu dirunut dari ungkapan-ungkapan suku-suku yang mendiami pulau itu. Baik Suku Sika, Lamaholot, Ngada, Lio maupun Manggarai memiliki pemahaman yang sama atas tanah kediaman mereka. Mereka memahami tanah ( nusa ) kediaman mereka  ibarat seekor ular raksasa ( nipa ) yang berbaring dengan posisi kepala di timur dan ekor di barat, ulu ledja gedju, eko ledja mele ( kepala di matahari terbit, ekor di matahari terbenam. Suku-suku  itu juga memahami tanah kediaman mereka memisahkan laut betina atau laut jinak dengan  dengan laut jantan atau laut berani. Ungkapan-ungkapan itu mengacu pada Laut Sawu di selatan yang bergelombang besar dan ganas serta Laut Flores di utara yang berarus kecil dan relatif teduh.


Flores yang kita kenal saat ini merupakan nama yang diberikan oleh orang Portugis ketika menginjakkan kakinya di Nusa Nipa pada abad ke-16. Flores berasal dari kata , cabo da flores artinya bunga. Selanjutnya nama itu secara resmi dipakai oleh Gubenur Hindia Belanda, Hendrik Brouwer sejak tahun 1636 sehingga nama itu lebih populer dan digunakan hingga sekarang.

Baik Nusa Nipa ataupun Flores adalah nama yang tepat bagi pulau yang berluas 14.300 km2 dan teletak di tenggara Indonesia itu. Nusa Nipa menggambarkan sosok pulau itu, yang dari udara ataupun dalam peta tampak seperti seekor ular yang sedang melata dengar kepala di timur dan ekor di barat. Sedangkan Flores mempresentasikan sebuah pulau yang indah dan menawan yang diapit oleh beberapa pulau kecil dan sedang di barat seperti Komodo dan Rinca serta pulau-pulau  sedang dan kecil serta di timur seperti Adonara, Lembata dan Alor di timur. Semuanya itu akan kami lukiskan dalam situs ini pada tulisan-tulisan selanjutnya.

Ini baru satu dari sekian potensi keindahan Flores.
Keindahan dan keanggunan Flores memang belum dikenal orang-orang luar Flores. Ini terjadi karena stigma yang  dideritanya. Bersama Sumba, Timor dan Alor-Pantar, mereka membentuk Propinsi Nusa Tenggara Timur dan dikenal dengan nama lain, FLOBAMORA. Stigma ini bukan datang dari orang-orang luar Flores, tetapi terutama dari para pemimpin daerah di Flores khususnya dan Nusa Tenggara Timur umumnya. Sadar atau tidak,  mereka selalu mengatakan bahwa NTT itu tandus dan miskin. Hampir semua pemimpin, terutama bapak-bapak yang mengurusi pemerintahan selalu mengatakan begitu. Karena itu semua orang akhirnya menerimanya sebagai suatu kebenaran.

Ungkapan ini pula menjadi  dasar pembenaran bagi mereka yang dipercaya sebagai pemimpin, entah itu Gubernur ataupun Bupati-Bupati untuk tidak bekerja maksimal. Yang menjadi perhatian mereka adalah  perut dan periuk nasi mereka sendiri dan kroni-kroninya. Ketika ditanya mana bukti kerja, mereka akan berkelit bahwa kerja mereka tidak mendatangkan hasil yang maksimal karena alam NTT umumnya dan Flores khususnya memang benar-benar tandus, kering dan tidak berpotensi. Sehigga dengan bekerja sekeras apapun akan tetap miskin.

Salah satu potret kemiskinan di Flores karena tiadanya kepedulian pelayan rakyat
Kondisi ini semakin diperparah oleh letaknya yang jauh dari pusat pemerintahan Indonesia di Jakarta dan sikap penduduknya yang tidak ngeyel. Ketika Timor Leste dulu masih menjadi bagian Indonesia, kita bisa menyaksikan betapa tidak adilnya Pemerintahan Indonesia, terutama di kantong-kantor perbatasan antar kedua propinsi itu. Sarana infrastruktur Timor Timur disediakan sedemikian rupa, sementara tetangga terdekatnya dibiarkan berjalan sendirian. Rupanya,  Pemerintahan Pusat termakan oleh omongan  ABS para pemimpin NTT dan Flores. Maka ungkapan iromis Nusa Tetap Tertinggal atau Nanti Tuhan Tolong ( NTT ) menjadi suatu kebenaran palsu yang miris dan getir.

Sebagai orang yang pernah menekuni dunia tourisme dan pariwisata secara profesional, akan saya tunjukkan bahwa stigma kemiskinan, ketandusan dan kegersangan itu adalah suatu apriori yang memperkosa kebenaran. Flores tidak miskin, Flores tidak tandus, Flores tidak gersang. Yang miskin, gersang dan tandus adalah para pemimpinnya ( pemerintahan ) yang hipokrit, egosentrik dan bermental ABS. 


Jepang: Si Penjajah Pengubah Landscape Flores 


Ini di Flores. Bukankah alam Flores tidak semuanya gersang dan tandus?
Iklim NTT umumnya dan Flores khususnya memang kering. Itulah sebabnya sebagian besar pulau di NTT ditumbuhi padang savana. Tamanan ini sebetuknya tanaman musiman. Dia akan bertmbuh subur di musim hujan tetapi akhirnya mengering di masim kemarau. Kondisi inilah yang menciptakan ketandusan.

Namun alam bukannya tidak bisa diberdayakan. Menurut kisah orang-orang tua kondisi alam Flores mengalami perubahan cukup besar ketika Jepang menguasai Indonesia yang tidak lama itu. Mereka mengatakan bahwa tidak lama setelah kedatangannya, dengan pesawat-pesawatnya,  orang Jepang menyebarkan bunga sejenis tanaman yang konon diambil dari kepulauan Hawaii. Orang Ngada menamakan tanaman itu wowa bhara. Seketika tanaman itu bertumbuh dengan suburnya di daratan Flores, terutama pada ketinggian di atas 500 meter dpl. Tamanan ini bisa bertahan di musim kemarau  yang memang jauh lebih panjang daripada musim hujan. Tanaman ini juga bisa memperbaiki ekosistem tanah karena sangat disukai cacaing tanah. "Ekspansi" tamanan ini lama-kelamaan membuat padang savana terdesak. Dalam waktu tidak kurang dari 20 tahun, tenaman ini semakin "menguasai" alam Flores dan menjadi landscape dominan di tanah itu.

Padang savana Mausui - savana Flores yang tersisa.
Kondisi ini mendatangkan banyak keuntungan tetapi juga meninggalkan kerugian. Pada zaman dulu
orang-orang Flores memiliki banyak kuda dan kerbau yang hanya diurus sesekali selain banyak juga kerbau liar. Dewasa ini, kedua jenis binatang itu semkin berkurang seiring semakin menyempitnya padang-padang rumput. Pada zaman dulu, begitu mudahnya orang-orang Flores menemukan alang-alang yang akan digunakan sebagai atap rumah adat mereke, kini alang-alang itu semakin langka dan membuat orang Flores harus mencari dengan tenaga lebih.

Itulah sebabnya, pada hari ini, ketika Anda ke Flores pemandangan yang dominan bukan lagi padang savana tetapi ejenis tumbuhan dengan tingkat kerapatan yang cukup tinggi serta bunganya yang berwarna putih, hampir mirip dengan bunga edelweis - si kembang abadi itu.


El Tari dan Ben Mboi: Pemimpin NTT Yang Membebaskan
 
El Tari meninggal 29 April 1978. Jasam besarmu akan selalu dikenang
El Tari, pria kelahiran Timor, 17 April 1926 adalah Gubernur NTT kedua dan menggantikan J. Lala Mentik. Masa  pemerintahannya yang berusia 12 ( 1966 - 1978 ) tahun telah meninggalkan sebuah kebaikan yang bersifat kekal untuk NTT umumnya dan Flores khusunya. Salah satu kebijakannya yang melegenda adalah Program 5-K. Lewat program ini, Bapak Gubernur yang patut dikenang jasanya ini, memastikan para petani kecil untuk menanam Kopi, Kemiri, Kelapa, Kapuk da Kayu Manis. Kemiri, Kelapa, Kapuk diperintahnya untuk ditanam di dataran rendah. Sedangkan Kopi dan Kayu Manis diperintahnya untuk ditanam di dataran tinggi. Di tengah keterbatasan NTT, beliau mampu mengkomunikasikan kebijakan itu secara efektif dan efisien sehingga kebijakan itu sampai ke masyarakat akar rumput dan dijalankan secara antusias oleh mansyarakat.

Seingat saya, orang-orang tua kami di Flores waktu itu, terutama di daerah Kecamatan Golewa- Ngada beramai-ramai mencabut bibit kopi di Perkebunan Misi SVD di Malanuza untuk ditanam di kebun masing-masing, mencari anakan kayu manis di hutan hujan tropis di desa Dari Wali - Kecamatan Aimere. Selain itu, di tanah-tanah kosong, terutama di dataran beriklim sedang ditanami kapuk.

Pensiun dengan tenang karena kebaikan-kebaikan yang pernah dibuat
Kebijakan yang baik ini dipahami secara benar oleh Gubenur Ben Mboi. Lewat  Program Operasi Nusa Hijau, Bapak Gubernur yang satu ini bukan sekadar meneruskan tongkat estafet kepemimpinan Propinsi NTT dari tangan  Bapak El Tari tetapi juga memastikan bahwa Program 5-K-nya mesti terus diberdayakan.

Lewat Program Operasi Nusa Hijau, Ben Mboi memerintahkan masyarakat NTT untuk menanam - menanam dan terus menanam. Hasilnya luar biasa, seperti pengakuan  seorang Kepala Sekolah SD Gunung di Desa Alila di Alor di bawah ini:


“ Ketika saya tiba di sini tahun 1978 sebagai guru, daerah ini adalah daerah padang rumput yang gersang dan berbatu. Sering terjadi kebakaran padang setiap tahunnya. Namun kemudian daerah ini berubah menjadi hutan Lamtoro, sejak Gubernur Ben Mboi mendorong reboisasi lewat slogan Operasi Nusa Hijau. Gubernur Mboi mengajak masyarakat untuk memelihara  kesuburan tanah denagan menaman lamtoro (Leucaena leucocephala). Beliau bahkan menggunakan pesawat terbang untuk mendistribusikan benih lamtoro dari atas pulau Alor. Sejak itu, kampong hutan kami menjadi hutan lamptoro.” (Mail 2010; Han 2010 and Boli 2010 - ntt-academia.org/files/DrAloysiusBenedictusMboi.pdf ).

Reboisasi di Sikka dilakukan secara konsisten dan telah mendatangkan keuntungan
Cerita keberhasilan roboisasi a la Bapak Gubernur ini bukan saja terjadi di Alor tetapi juga di mana-mana di seluruh NTT. Bahkan Kabupaten Sikka yang terkenal panas ini, menurut pengakuan anggota masyarakatnya,  tumbuh beberapa mata air baru berkat proyek reboisasi ini.  Hal yang sama juga ditemukan di tempat-tempat lain

Kisah sukses ini mestinya menjadi inspirasi bagi siapa saja; bahwa bukan suatu kemustahilan mengubah landscape alam yang tandus dan gersang menjadi hijau dan subur. Kisah ketepatan program kedua pemimpin NTT di atas telah berbuah manis saat ini. Sekali lagi! Flores tidak miskin, Flores tidak tandus, Flores tidak gersang. 


Fakta: Flores yang kaya tapi pendukuknya tetap miskin 

Satu fakta yang tidak bisa dipungkiri. Pulau Flores itu kaya. Tidak percaya? Ini pertanyaan-pertanyaan retoris dan reflektif yang mestinya dijawab terutama oleh para pemimpin kita, mulai dari Pak Gubernur, Pak Bupati dan Camat serta Bapak/Ibu anggoat perwakilan rakyat. 

Bukankah Ngada dan Manggarai saat ini sudah masuk dalam jajaran daerah penghasil kopi arabika dengan kualitas dunia? Bukankah Ende-Lio saat ini sudah masuk dalam jajaran daerah penghasil kacang mede dengan kualitas dunia? Bukankah Ende-Lio ( dan juga sebenarnya Ngada-Nagekeo ) semakin dikenal sebagai daerah penghasil pisang barangan dengan kualitas tinggi? 

Atau, tidak tahukah para pemimpin rakyat NTT dan Flores khususnya bahwa pisang kapuk Flores sangat laku di Jawa Timur? Tidak tahukah para pemimpin
Kopi arabika dan kacang mede. Orang bule saja tahu kualitasnya

rakyat NTT dan Flores khususnya bahwa ikan asin hasil lautnya telah dikapalkan secara kontinu dari Labuan Bajo menuju ke Jawa?  

Tidak tahukah para pemimpin rakyat NTT dan Flores khususnya bahwa lobster dan ikan-ikan mahal yang disajikan di restoran-restoran terkenal dan mahal Jimbaran itu di datangkan dari daerah yang dikatakan miskin ini? 

Rupa-rupanya para pemimpin kita setelah El Tari dan Ben Mboi tetap percaya pada ungkapan ironis NTT sebagai Nusa Tetap Tertinggal. Ini berlaku umum, mulai dari Gubernur, kepala daerah hingga anggota dewan. Lebih tepat, mereka telah  membutakan mata dan menulikan telinga. Mereka tidak melihat potensi tanah ini. Apa yang sudah dirintis oleh Bapak El Tari dan Ben Mboi tidak dilanjutkan lewat program-program yang sinergis. 

Pantai Merah Komodo menawarkan keunikan selain varanusnya
Belum lagi kalau kita bicara soal kekayaan-kekayaan lain yang terkait erat dengan turisme dan pariwisata. Flores itu memiliki pantai-pantai yang indah mulai dari barat hingga timur. Katakanlah Komodo; tidak hanya dikenal sebagai "rumahnya" varanus komodoensis, tetapi kehidupan bawah lautnya semakin dikenal dan diakui sebagai salah satu yang terkaya di dunia. Lalu masih ada lagi pantai-pantai yang lain yang keindahannya telah menyedot perhatian siapa saja. 

Kelimutu, sepotong surga di Tanah Flores
Flores juga memiliki danau-danau dan air terjun. Dewasa ini, orang bukan hanya mengenal Danau Tri Warna Kelimutu yang memang sudah dikenal sejak beberapa dekade yang lalu. Orang juga semakin mengenal Danau Sano Nggoang, Danau Ranamese, air terjun Cunca Rami, Ogi, hingga air terjun kembar Moro Sabe di Sikka.

Selain itu, Flores juga memiliki kekayaan lain dari sisi budayanya. Orang Flores mesti bersyukur bahwa ada beberapa kampung tradisional berhasil "melawan' kebijakan Orde Baru tahun 1970-an yang melenyapkan rumah-rumah tradisional dan diganti dengan rumah modern. Sikap melawan itu membuat Flores memiliki objek wisata komplit mulai dari laut, bentangan alam hingga warisan budaya. Dewasa ini, kampung tradisional Manggarai di Wae Rebo, Ngada di Bena, Wogo dan beberapa kampung di Jere Bu'u, Ende-Lio di Wolotopo, Sikka di kampung tradisional Dokar telah mengundang decak kagum ribuan turis dalan negeri dan
Tidak perlu mesin waktu untuk melihat masa lalu manusia. Datanglah ke Flores
manca negara. Lewat kampung-kampung tardisional itu, orang seolah-olah melihat kembali sisi asali mereka. Ada semacam roomantisme dalam diri  orang-orang modern untuk kembali lagi ke asal mereka di masa-masa yang silam.

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Flores berpotensi menawarkan semua hal yang dibutuhkan manusia modern dewasa ini di tengah trend back to nature.


 Fakta: Kemiskinan manusia Flores karena Pemimpin

Kulit kayu manis yang bernilai  tinggi mubazir karena kealpaan Pemerintah
Kemajuan teknologi transportasi dan telekomunikasi mestinya mendatangkan keuntungan bagi siapa saja, termasuk bagi masyarakat Flores. Demikian pun trend back to nature mestinya menjadi momentum bagi bangkitnya pariwisata Flores. Namun, sayang beribu sayang setelah kedua pemimpin NTT yang kharismatik dan visioner itu, NTT kehilangan pemimpin yang benar-benar tulus ikhlas bekerja untuk rakyat. Pasca kedua beliau yang terhormat di atas, tidak muncul lagi Gubernur NTT yang bekerja untuk rakyat. Pembangunan masyarakat tidak berlanjut. Mestinya, hasil-hasil kerja kedua gubernur di atas dilanjutkan dengan program lain. Di antaranya adalah bagaimana cara agar program yang sudah berhasil itu bisa mendatangkan hasil yang lebih optimal pada masyarakat? Hal ini bisa dijawab sebetulnya lewat program distribusi hasil-hasil bumi masyarakat. Namun ini luput dari kebijakan bapak-bapak Gubernur NTT sesudahnya. 

Kelapa yang tumbuh subur di Flores tidak maksimal mendatangkan keuntungan
Berikut ini adalah contoh konkrit dari bobroknya policy Pemerintahan NTT pasca El Tari dan Ben Mboi. Kayu manis yang sebetulnya sudah bisa diambil hasilnya akhirnya hanya digunakan masyarakat lokal sebagai bahan bangunan  sementara kulitnya yang berharga dibuang begitu saja. Kemiri yang sudah berbuah akhirnya dibiarkan begitu saja karena tiadanya jalur pemasaran. Kelapa pun demikian; hanya dijadikan kopra dan dijual dengan harga murah. Belum lagi kita bicarakan harga kopi sebelum masuknya orang Amerika ke Flores atau vanili yang dijual dengan sistem ijon kepada para tengkulak.

Di mana-mana memang ada Koperasi Unit Desa ( KUD ). Namun keberadaannya sama sekali tidak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat. Maka, oleh orang-orang Ngada akronim KUD itu diartikan dalam bahasa daerah "ka dhu de"  ( artinya "Kapan makan?" ).

Flores membutuhkan pemimpin-pemimpin dengan karakter seperti almarhum El Tari dan bapak Ben Mboi. Tuhan, kirimkanlah pada kami pemimpin yang mau melayani dan visioner seperti mereka sekali lagi.


Manusia Flores: Satu Asal  tetapi penuh kemajemukan


Tahun 2007 Pulau Flores dihuni oleh sekitar 1,6 juta penduduk yang menyebar di 8 kabupaten, mulai dari Kabupaten Lembaga di timur hingga Manggarai Barat di ujung barat.

Orang Flores terdiri dari 9 suku besar, yaitu Suku Lamaholot, Adonara, Larantuka, Sikka, Ende-Lio, Nage Keo, Ngada, Riung  dan Manggarai. Suku-suku itu memiliki budaya dan tardisi yang berbeda satu sama lain. Tradisi dan adat-istiadat itu hingga kini masih dijaga dan dipraktekkan secara baik. Misalnya, orang Manggarai, berkat sikap
Orang Ngada dan Manggarai, dua dari 9 suku utama di Flores
"bangkang" yang tidak mau menghilangkan rumah tradisional mereka dan diganti dengan rumah versi modern,  masih mempertahankan rumah adat dalam bentuk Mbaru Niang di Wae Rebo yang saat ini ditetapkan secara warisan dunia. Selain itu mereka juga tetap menarikan   tarian perang Caci yang eksotis. Orang Ngada pun demikian. Ketika anda pergi ke kampung tradisional Bena, Anda seolah-oleh di bawa oleh mesin waktu ke abad-abad yang lampau. Tarian Ja'i yang merupakan tarian selamat datang saat ini bahkan semakin populer.


Gereja Sikka - saksi bisu masuknya katolisitas di tanah Flores
Hampir 90% orang-orang Flores menganut agama Katolik dan dikenal pula sebagai tempat penghasil
panggilan hidup khusus, yaitu sebagai imam, biarawan dan biarawati. Agama Katolik diperkenalkan oleh bangsa Portugis sejak abad ke-16. Itulah sebabnya pengaruh Portugis masih terasa hingga saat ini, terutama di Flores bagian timur. Di Larantuka bahkan ada upacara Semana Santa, sebuah upacara perarakan dan ratapan yang dilaksanakan selama Pekan Suci. Event itu bahkan semakin dikenal oleh orang-orang dari luar Flores dan menjadi sebuah paket wisata rohani yang semakin menarik.

Bunda Maria Wolowio - satu objek baru ziarah Katolik di Flores
Walaupun mayoritas orang Flores menganut agama Katolik, agama-agama lain diterima secara baik. Bahkan di beberapa tempat seperti di Adonara, di mana Islam memiliki akar historis yang kuat, acara-acara MTQ tingkat daerah juga difasilitasi oleh pihak Gereja Katolik.

Itulah sekelumit tentang Flores, permata Sunda Kecil yang siap bangkit dan dara manis yang siap memancarkan inner beauty-nya.

Sumber: Dari berbagai sumber. 
Next Post
No Comment
Add Comment
comment url