Permasalah Sosial dalam Perspektif Imajinasi Sosiologis

permasalahan sosial menurut perspektif imajinasi sosiologis
Apakah putus sekolah dan pekerja anak adalah masalah pribadi ataukah masalah sosial?
sumber gambar: pixabay.com


Pengantar Permasalahan Sosial


Permasalahan sosial mengacu pada perbedaan antara harapan atau keinginan dengan kenyataan atau fakta yang sebenarnya. Pada kesempatan ini, quguru/tempatguru ingin membahas Permasalahan Sosial dalam Perspektif Imajinasi Sosiologis. Semoga bisa menambah wawasan pembaca terkait dengan permasalahan sosial.



Permasalahan Pribadi dan Permasalah Sosial


Tidak ada individu yang tidak mempunyai masalah. Mungkin di antara kita, saudara, kenalan atau tetangga yang jatuh miskin karena terjerat pinjaman online yang saat ini lagi marak. Mungkin ada yang sedang menganggur karena pandemi virus corona atau bahkan nganggurnya sudah bertahun-tahun. Juga, mungkin ada yang terserang kolestrol atau gula darah karena pola makan yang tidak sehat serta masalah lainnya.


Ketika kita melihat masalah-masalah itu secara langsung atau membaca masalah itu di koran, akan mudah bagi kita untuk berpikir bahwa apa yang dialami itu adalah masalah pribadi orang yang bersangkutan. Kita mungkin berkesimpulan bahwa itu semua merupakan akibat dari kesalahan korbannya sendiri.


Namun, terkait dengan kasus-kasus seperti itu, sosiologi memiliki pendekatan yang berbeda. Sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat, sosiologi secara skeptis tidak melihat kasus-kasus itu sebagai masalah individu semata. Bagi sosiologi, selalu terbuka kemungkinan bahwa masalah-masalah itu harus dihubungkan dengan aspek-aspek kemasyarakatan di mana individu itu hidup dan berada.



Pemahaman Charles Wright Mills


Dalam bukunya yang berjudul "The Sociological Imagination," yang diterbitkan pada tahun 1959, Charles Wright Mills mengatakan bahwa masalah pribadi harus dihubungkan dengan permasalahan sosial yang lebih luas, serta pemahaman bagaimana permasalahan pribadi tersebut terkait dengan struktur sosial, sejarah, dan konteks sosial yang lebih besar.


Mills memang membedakan antara masalah pribadi (Personal Troubles) dengan masalah sosial (Public Issues), tetapi menurutnya keduanya bisa saja memiliki hubungan. Menurutnya permasalahan Pribadi (Personal Troubles) adalah masalah atau kesulitan yang dialami oleh individu atau kelompok kecil dalam kehidupan sehari-hari mereka. Permasalahan ini cenderung bersifat pribadi dan tidak melibatkan masalah sosial yang lebih luas. Contoh permasalahan pribadi misalnya masalah keuangan, masalah dalam keluarga, masalah kesehatan individu, atau kesulitan dalam pekerjaan.


Sedangkan Masalah Sosial (Public Issues) adalah masalah yang memengaruhi masyarakat dalam skala yang lebih besar. Masalah sosial bersifat kolektif dan dapat mempengaruhi banyak individu atau bahkan seluruh masyarakat. Masalah sosial seringkali terkait dengan isu-isu struktural, seperti kemiskinan, ketidaksetaraan sosial, diskriminasi, perubahan ekonomi, atau konflik politik. Mills menganggap bahwa masalah sosial harus dipahami dalam konteks sejarah, struktur sosial, dan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi masyarakat.



Imajinasi Sosiologis


Poin penting yang ingin disampaikan Mills adalah bahwa permasalahan pribadi sering kali dapat menjadi cerminan atau pantulan dari masalah sosial yang lebih besar. Dengan kata lain, masalah pribadi seseorang dapat berhubungan dengan atau merupakan pantulan permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat.


Oleh karena itu, untuk memahami permasalahan sosial secara menyeluruh, penting bagi individu untuk mengembangkan Imajinasi Sosiologis.


Mills menegaskan bahwa Imajinasi Sosiologis adalah penerapan pemikiran imajinatif untuk mengajukan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sosiologis (pertanyaan yang terkait dengan elemen dan proses kemasyarakatan). Dengan imaginasi sosiologis, individu melepaskan diri dari kehidupannya yang monoton dan mengembangkan pemahaman sejarah hidup sendiri dengan konteks masyarakatnya sebagai dua hal yang saling mempengaruhi.


Menurutnya Imajinasi Sosiologis penting untuk melihat apakah permasalahan pribadi individu memiliki hubungan yang erat dengan struktur sosial dan konteks sosial yang lebih besar ataukah tidak.


Tiga Elemen Imajinasi Sosiologis

Sebagai alat bantu untuk melihat hubungan antara masalah pribadi dengan permasalahan sosial yang lebih luas, serta memahami bagaimana permasalahan pribadi tersebut terkait dengan struktur sosial, sejarah, dan konteks sosial yang lebih besar, Imajinasi Sosiologis melibatkan tiga elemen utama:


1. Kemampuan untuk melihat hubungan antara sejarah dengan biografi

Ini mengacu pada pemahaman bahwa pengalaman pribadi seseorang tidak terlepas dari sejarah sosial yang lebih besar. Sejarah, kebijakan pemerintah, dan perkembangan sosial memengaruhi kehidupan individu.


2. Kemampuan untuk memahami struktur sosial

Ini berarti seseorang harus memahami peran lembaga-lembaga sosial seperti ekonomi, politik, agama, dan budaya dalam membentuk kehidupan individu dan masyarakat. Imajinasi sosiologis membantu seseorang untuk melihat bagaimana struktur sosial ini memengaruhi pengalaman pribadi.


3. Kemampuan untuk memahami konsekuensi tindakan individu dalam konteks sosial yang lebih luas

Imajinasi sosiologis juga melibatkan kemampuan untuk memahami bagaimana tindakan individu dapat memiliki dampak yang lebih besar pada masyarakat dan bagaimana tindakan sosial dapat mempengaruhi kehidupan individu.


Imajinasi sosiologis penting karena dapat membantu kita melihat bahwa permasalahan sosial tidak selalu atau melulu bersumber dari kegagalan individu semata, tetapi seringkali berkaitan dengan struktur sosial yang lebih besar.


Dengan kata lain, imajinasi sosiologis membantu kita melihat bahwa permasalahan pribadi seseorang seringkali merupakan cerminan dari permasalahan sosial yang lebih besar.


Mills mengambil kasus pengangguran sebagai contoh. Jika hanya sedikit orang yang menganggur, kita dapat menjelaskan bahwa pengangguran itu disebabkan karena mereka malas atau tidak memiliki etos kerja yang baik. Kita bisa mengatakan bahwa kemalasan itu merupakan masalah pribadi. Tetapi jika ada begitu banyak orang yang menganggur, maka pengangguran itu lebih baik harus dipahami sebagai masalah bersama sehingga mengharuskan kita untuk menghubungkannya dengan institusi ekonomi, politik serta struktur sosial lainnya.


Dengan Imajinasi Sosiologis, kita dapat terbantu untuk memahami permasalahan yang dihadapi seseorang atau kelompok secara lebih objektif. Dengan jalan itu, diharapkan kita mampu menempatkan permasalahan itu secara lebih objektif. Bila diyakini bahwa permasalah itu termasuk permasalahan, maka akan lebih mudah kita menemukan jalan untuk mengatasi permasalahan itu.



Menyalahkan Korban versus Menyalahkan Sistem


Mendukung wawasan Mills, William Ryan (Ryan, 1976), mengatakan bahwa orang Amerika biasanya berpikir bahwa kemiskinan dan pengangguran disebabkan karena korbannya yang malas dan memiliki masalah tertentu. Menggunakan istilah Mills, Ryan mengatakan bahwa orang Amerika cenderung menganggap masalah sosial lebih sebagai masalah pribadi daripada sebagai masalah public. Masyarakat cenderung menyalahkan korban (blaming the victim) daripada menyalahkan sistem (blaming the system).


Ia mempertegas klaimnya itu lewat sebuah contoh kasus: mengapa anak-anak miskin di perkotaan seringkali tidak masuk sekolah?


Pendekatan blaming the victim (menyalahkan korban) akan mengatakan bahwa kemalasan itu diakibatkan karena orang tua mereka yang tidak peduli, gagal mengajarkan kebiasaan belajar yang baik dan tidak mendorong anak-anaknya untuk serius bersekolah. Katanya, penjelasan itu mungkin berlaku untuk beberapa orang tua. Mamun, menurutnya, penjelasan itu mengabaikan beberapa alasan yang jauh lebih penting. Fakta anak-anak miskin perkotaan seringkali tidak masuk sekolah lebih disebabkan karena kondisi sekolah perkotaan Amerika yang penuh sesak, bangunan yang tua dan sumpek serta buku-buku pelajaran yang kumal dan ketinggalan zaman. Katanya, untuk memperbaiki kondisi itu, kita harus memperbaiki sekolahnya dan bukan hanya berupaya “memperbaiki” para orang tua murid.


Dari kasus itu, Ryan menyimpulkan bahwa pendekatan menyalahkan korban (blaming the victim) hasilnya terbatas dalam cakupan yang kecil dan tampak kurang efektif. Sedangkan pendekatan menyalahkan sistem (blaming the system) akan membuat para pembuat dan pelaksana kebijakan memusatkan perhatiannya pada cakupan masalah yang lebih luas yang mampu membantu masyarakat mengatasi masalah sosial yang sedang dihadapi.



Relevansinya Bagi Indonesia


Imajinasi sosiologis membantu individu untuk menghubungkan situasi kondisi yang ia alami dengan struktur sosial masyarakatnya. Ini akan membantu individu membangun kesadaran bahwa apa yang dialami, sejauh itu terkait erat dengan struktur masyarakat, harus diperbaiki dan tidak menerimanya begitu saja sebagai suratan nasib atau takdir.


Kuatnya pandangan "sudah menjadi nasib" inil bisa menjelaskan mengapa blaming the victim masih merupakan pendekatan yang umum dipraktekkan dalam masyarakat kita. Contoh yang memvalidkan klaim ini adalah pemberlakuan UU Pornografi beberapa tahun lalu setelah mengalami perdebatan yang panjang dan melelahkan.


Menyalahkan korban tidak akan membuat permasalahan sosial dalam masyarakat menjadi berkurang. Bahkan perilaku itu justru membuat korbannya semakin terpuruk karena mengalami kesialan secara ganda.


Selain itu, permasalahan sosial seolah tidak akan berujung karena kita sebagai warga masyarakat tidak kritis terhadap sistem sosial kita sendiri yang buruk, korup dan tidak manusiawi. Kita lebih suka mempersalahkan korban. Kita punya pepatah, "Buruk muka cermin dibelah." Alih-alih merawat muka yang jelek agar terlihat bening dan kinclong. Kita lebih suka memecahkan cermin, sebuah benda mati yang tidak bersalah tetapi berguna.


Bila terus begini, "Kapankah Indonesia yang adil dan beradab itu tercapai?" Apakah bangsa Indonesia harus menunggu sampai zaman kuda gigit besi?









Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url