Konflik Sosial: Penyebab, Jenis, dan Cara Penyelesaiannya

Konflik Sosial, Sebuah Pengantar


Konflik adalah fenomena umum. Hal itu dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Namun bila tidak ditangani secara baik, konflik bisa merusak harmoni sosial. Dalam postingan ini,  Quguru akan membahas konflik sosial: Penyebab, Jenis dan Cara Penyelesaiannya. 

salah satu contoh konflik sosial adalah konflik antara suami dan isteri. Konflik sosial merupakan fenomena umum yang tidak bisa dihindari tetapi harus dikelola
Konflik sosial tidak bisa dihindari. Sebagai bagian dari interaksi sosiall, konflik sosial harus dikelola

Konflik sosial adalah fenomena yang selalu terjadi. Ketika ada perbedaan kepentingan, nilai, atau tujuan di antara kelompok-kelompok yang ada, sangat mungkin menimbulkan konflik sosial. Konflik sosial juga bisa terjadi karena berbagai hal, seperti ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, diskriminasi, perbedaan agama, dan lain-lain. 

Bila terjadi konflik sosial ada harga yang harus dibayar oleh komunitas masyarakat setempat. Sebagai langkah antisipatif, setiap anggota masyarakat perlu memahami peristiwa konflik sosial yang pernah terjadi untuk  beberapa tujuan penting, yaitu: 
  1. Membantu memahami penyebab dan akar konflik sosial. Dengan mempelajari konflik sosial, kita dapat lebih memahami apa yang menyebabkan konflik, dan bagaimana kita dapat mengatasi masalah tersebut.
  2. Membantu membangun pemahaman antar kelompok. Konflik sosial sering kali terjadi karena ketidakpahaman antara kelompok-kelompok yang berbeda. Dengan mempelajari konflik sosial, kita dapat memperluas pemahaman kita tentang kelompok lain dan mencari cara terbaik untuk berkomunikasi dengan mereka.
  3. Meningkatkan keterampilan penyelesaian konflik. Belajar tentang konflik sosial dapat membantu kita mengembangkan keterampilan dalam menyelesaikan konflik, sehingga kita dapat mencari solusi yang lebih efektif dan damai.
  4. Membantu mencegah terjadinya konflik sosial. Dengan mempelajari konflik sosial, kita dapat lebih mudah mengidentifikasi tanda-tanda konflik sosial dan mencari cara untuk mencegah terjadinya konflik tersebut.
  5. Meningkatkan kesadaran sosial. Belajar tentang konflik sosial dapat meningkatkan kesadaran kita tentang masalah sosial yang ada di masyarakat dan memberikan wawasan tentang bagaimana kita dapat membantu memperbaiki situasi.

Pengertian Konflik Sosial

Konflik adalah  bagian integral dari pergaulan sosial. Gillin dan Gillin mengatakan bahwa  konflik adalah bagian dari interaksi sosial. Dengan kata lain, interaksi atau hubungan sosial yang terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau antar kelompok dengan kelompok berpotensi menciptakan konflik sosial.

Secara etimologis, konflik berasal dari kata configere ( bahasa Latin ), artinya saling memukul. Nah, dilihat dari sisi etimologis ini, konflik sosial adalah aktivitas atau tindakan fisik di mana pihak yang satu memukul dan dibalas dengan pukulan pula oleh pihak yang dipukul. 

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik artinya pertentangan, perselisihan atau perbedaan pendapat. Pengertian konflik yang diberikan oleh KBBI lebih luas dan lebih umum, tidak hanya terbatas pada tindakan saling memukul.

Menurut Soerjono Soekanto, konflik sosial adalah proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan, yang disertai dengan ancaman dan / atau kekerasan. Sedangkan Lewis A. Coser mengatakan bahwa konflik adalah perjuangangan atas sumber daya yang langka dengan maksud menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan.


Dari definisi-definisi di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa konflik adalah proses sosial di mana 2 orang atau lebih berupaya untuk saling memperebutkan sesuatu yang diinginkan bersama dengan jalan menyingkirkan pihak lawan disertai ancaman dan/atau tindakan sehingga lawan tidak berdaya. 

Dari definisi ini kita dapat menyimpulkan beberapa karakteristik konflik:

  1. Konflik adalah bagian dari interaksi sosial yang melibatkan individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok.
  2. Konflik terjadi karena ada motif atau alasan tertentu. Motif atau alasan itu bisa berupa perbedaan pendapat, keyakinan, kepentingan, tujuan dan sebagainya.
  3. Konflik bisa terungkap dalam aktivitas non fisik berupa perbedaan pandangan dan aktivitas fisik dengan cara mencederai, melukai ataupun melenyapkan lawan.


Penyebab Konflik Sosial


Menurut Soerjono Soekanto, konflik terjadi karena empat factor utama, yaitu:
  1. Perbedaan  kepribadian. Perbedaan kepribadian bisa menimbulkan konflik sosial karena individu dengan kepribadian yang berbeda mungkin memiliki pandangan, nilai-nilai, dan cara berpikir yang berbeda dalam menghadapi suatu situasi. Jika individu dengan kepribadian yang berbeda berinteraksi secara intens, maka perbedaan itu  dapat menyebabkan perbedaan pendapat dan bahkan konflik. Misalnya, orang dengan kepribadian sanguinis populer sangat suka suasana yang ramai dan heboh, tentu tidak cocok dengan orang yang berkepribadian melankolis murni yang sangat menyukai suasana hening, tertata dan teratur. Bila dua orang dengan tipe kepribadian yang berbeda itu berinteraksi dalam waktu yang relative lama tentu akan menimbulkan gesekan antara keduanya. Jelas bahwa tipe kepribadian yang bertolak belakang berpotensi menimbulkan konflik
  2. Perbedaan pendirian. Dalam konteks sosial, perbedaan pendirian  merujuk pada perbedaan sikap atau pandangan masyarakat terhadap suatu isu atau masalah sosial yang sedang terjadi. Perbedaan pendirian juga bisa ditemukan dalam lingkungan sosial terkecil mulai dari perbedaan pilihan fakultas atau perguruan tinggi hingga masalah yang terkesan sepele seperti pilihan menu makan siang atau pililhan tempat rekreasi liburan. 
  3. Perbedaan kebudayaan: Kepribadian dan sikap setiap individu secara dominan dipengaruhi oleh budayanya. Pada setiap budaya ada nilai-nilai dominan yang kadang-kadang saling bertentangan. Pertentangan nilai dominan inilah yang menyebabkan terjadinya konflik sosial. Contoh, budaya Batak sangat menjunjung tinggi keterusterangan. Bagi budaya ini, bicara keras adalah tanda ketegasan. Sedangkan budaya Jawa sangat menjunjung tinggi harmoni. Karena itu bicara secara diplomatis, tutur kata yang halus dan suara yang lembut merupakan perilaku yang dianjurkan. Itulah sebabnya orang Batak sering dikatakan “kasar” oleh orang Jawa. Sebaliknya, orang Jawa dikatakan tidak tegas oleh orang Batak.
  4. Perbedaan Kepentingan: Yang dimaksudkan dengan perbedaan kepentingan di sini adalah cara individu atau kelompok memandang atau melihat nilai yang terkandung dalam suatu objek yang sama. Misalnya hutan; masyarakat setempat melihatnya sebagai sumber mata air sehingga harus dijaga kelestariannya, sementara pemerintah daerah memandangnya sebagai sumber pemasukan ekonomi daerah sehingga mengundang investor untuk mengeksploitasinya. 
  5. Perubahan sosial. Ini adalah hubungannya dengan  anomie atau keadaan tanpa aturan. Anomie adalah  kondisi masyarakat di mana nilai-nilai dan norma-norma lama semakin kehilangan wibawa sementara nilai-nilai dan norma-norma baru belum diterima dan diakui secara luas. Anomie bisa menciptakan suatu suasana “tanpa nilai dan norma” atau nilai dan norma yang subjektif. Akibatnya bisa timbul konflik antara individu atau kelompok yang mempraktekkan nilai-norma subjektif tersebut dengan yang menolaknya.

Jenis-jenis Konflik Sosial


1. Lewis A. Coser

Lewis A. Coser membagi konflik sosial dalam dua golongan besar, yaitu:

a. Konflik realistis

Konflik yang benar-benar terjadi sebagai reaksi terhadap situasi yang memicunya. Misalnya, kekecewaan terhadap sebuah sistem membuat pihak yang kecewa melakukan tindakan tertentu. Atau seorang anak mogok belajar karena orang tuanya tidak menepati janji membelikan sepeda.

b. Konflik non realis

konflik sosial bisa dilakukan secara tidak langsung misalnya lewat perdukunan atau "kabing hitam"
Konflik nonrealistis dilakukan dengan menggunakan media perantara, tidak langsung diarahkan kepada pihak yang dihadapi 


Konflik yang dilampiaskan secara tidak langsung pada pihak yang terlibat dalam konflik. Konflik dialihkan pada pihak lain yang sebetulnya berada di luar zona konflik lewat mekanisme “kambing hitam”. Dalam konflik non realis, ada pihak yang harus dikorbankan atau dipersalahkan sehingga ketegangan bisa diredakan. 

Ini biasanya terjadi bila pihak yang dilibatkan dalam konflik memiliki otoritas atau punya kekuatan lebih besar dan pihak yang dijadikan kambing hitam adalah pihak yang lebih lemah atau secara historis merupakan “musuh bersama”. Misalnya kerusuhan Mei 1998, di mana orang-orang keturunan Tionghoa dijadikan kambing hitam karena ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru.

2. Ralph Darhendrof 

Menurut Ralph Darhendrof, konflik sosial bisa dibedakan dalam beberapa bentuk, yaitu:

a. Konflik antar peranan sosial


Setiap orang memiliki status dan peranan tertentu dalam masyarakat. Peranan adalah tugas atau tanggungjawab yang terkait dengan status tertentu. Konflik antar peranan sosial mengacu pada konflik antar tugas-tugas individu dalam masyarakat, misalnya konflik antara pedagang kaki lima yang menggelar dagangan di tempat-tempat ramai dengan petugas ketertiban kota dan bertugas mengawasi ketertiban dan kebersihan tempat-tempat umum terutama yang ramai.

b. Konflik antar kelompok sosial


Kelompok social adalah himpunan atau kumpulan manusia dengan ciri-ciri antara lain setiap anggota menyadari diri sebagai bagian dari kelompok itu, ada interaksi yang dinamis di antara anggota serta memiliki tujuan bersama. Konflik antar kelompok sosial bisa terjadi bila kedua kelompok itu memiliki kepentingan yang berbeda atau memperebutkan hal yang sama. Misalnya konflik antara orang Kristen dan Islam di Ambon yang bermula dari pembagian kekuasaan politik yang tidak adil, atau konflik antara PKB dengan Golkar dan beberapa partai politik lain dalam masalah penurunan Gus Dur sebagai presiden.

c. Konflik antar satuan nasional


Mengacu pada konflik antar negara, misalnya konflik antara Indonesia dengan Malaysia soal pulau Sipadan dan Ligitan atau konflik antara Israel dengan Palestina soal pendirian Negara Palestina.


3. Soerjono Soekanto 


Sedangkan Soerjono Soekanto mengkategorikan konflik-konflik yang terjadi di masyarakat dalam lima ( 5 ) bentuk umum, yaitu:

a. Konflik antar individu


Konflik antara orang perorangan yang diakibatkan oleh berbagai perbedaan, di antaranya perbedaan kepribadian, perbedaan pandangan, perbedaan keinginan dan sebagainya.

b. Konflik rasial

Konflik yang diakibatkan oleh perbedaan ciri fisik, ciri sosial, etnis dan kebudayaan yang sederajat. Konflik ini bisa terjadi karena 

c. Konflik antar kelas social:

Konflik yang diakibatkan karena perbedaan kedudukan secara hierarkis. Misalnya konflik antar buruh dan majikan, konflik antara pejabat pemerintahan dengan rakyat sipil.

d. Konflik politik:

Konflik yang diakibatkan oleh kepentingan politik yang terkait dengan kekuasaan dan pengaruh pada masyarakat. Misalnya konflik antara partai politik atau konflik antar calon pemimpin lokal.

e. Konflik internasional:

Konflik yang terjadi antar negara kesatuan, terkait dengan tapal batas antar negara, sistem perdagangan antar negara.



Dampak Konflik Sosial


Meskipun konflik sosial bersifat disosiatif yang berpotensi merusak hubungan antar individu atau antar kelompok sosial, toh konflik juga mempunyai sisi positif jika dikelola secara baik. Menurut Lewis A. Coser, konflik merupakan peristiwa yang normal dan wajar karena dapat memperkuat hubungan-hubungan sosial.

Sebetulnya konflik merupakan tanda adanya hubungan antar kelompok atau antar individu yang berjalan  dinamis, hidup dan wajat. Konflik justru diperlukan karena dengan demikian masyarakat punya katup pengaman yang bisa meniadakan atau meminimalisir konflik yang bersifat destruktif.

Secara umum,  dilihat dari dampaknya, konflik bisa dibedakan menjadi dua, yaitu konflik konstruktif dan konflik destruktif. 

Konflik Konstruktif adalah konflik yang bersifat membangun karena membuat hubungan antar pihak-pihak yang berkonflik menjadi lebih baik.

Sedangkan konflik deskruktif adalah konflik yang bersifat merusak karena membuat hubungan antar pihak-pihak yang berkonflik menjadi rusak bahkan putus sama sekali.


Konflik Konstruktif

Konflik konstruktif memunculkan kompromi baru antara pihak-pihak yang berkonflik
Pemuka Agama mewakili pihak-pihak yang berkonflik di Poso menyetujui kesepakatan untuk berdamai dan mengakhiri konflik antar agama yang pernah terjadi di Sulawesi itu 


Konflik Konstruktif adalah konflik yang bersifat membangun karena membuat hubungan antar pihak-pihak yang berkonflik menjadi lebih baik. Konflik Konstruktif bersifat positif karena membuat hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik menjadi lebih baik. 

Di bawah ini adalah dampat positif konflik konstruktif:
  1. Memperjelas aspek-aspek yang belum jelas/belum tuntas. Perlakuan yang tidak adil atau tidak baik pada pihak lain seringkali tidak disadari oleh pihak yang melakukannya. Untuk memperbaiki keadaan itu, pihak yang merasa diperlakukan tidak baik bisa mengungkapkannya baik secara verbal maupun secara nonverbal supaya diperhatikan oleh pihak yang melakukannya.
  2. Memungkinkan penyesuaian kembali nilai, norma dan hubungan sosial. Konflik yang muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap situasi yang ada akan memaksa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk merumuskan kembali nilai-nilai dan norma-norma bersama dan pola-pola hubungan di antara mereka. Misalnya, orang Aceh berkonflik dengan pemerintah Indonesia karena ketidakpuasan atas pembagian kekayaan Aceh. Akibatnya, Aceh diberikan otonomi khusus.
  3. Meningkatkan solidaritas in-group. Konflik dengan pihak lain akan memperkuat hubungan antar anggota kelompok yang bersangkutan untuk bersama-sama melawan kelompok lawan. Misalnya konflik dengan Malaysia membuat orang-orang Indonesia bersatu pada tanpa membedakan suku, agama, rasa, antar golongan untuk melawan Malaysia.
  4. Mengurangi ketergantungan antar individu. Konflik bisa membuat individu menjadi lebih mandiri dan lebih kuat. Misalnya seorang anak yang bersikukuh memilih pasangan yang tidak disetujui orang tua membuat anak tersebut harus keluar dari rumah orang tua dan berjuang sendiri tanpa sokongan dana dari orang tua.
  5. Memunculkan kompromi baru. Pihak yang dirugikan bisa mengungkapkan ketidakpuasan mereka dengan beberapa bentuk di antaranya demonstrasi, mogok hingga perjuangan fisik. Keadaan itu bisa memaksa kelompok lain yang bertindak diskriminatif mengevaluasi pola-pola hubungan antara kelompok sehingga memungkinkan komromi baru yang lebih menguntungkan pihak-pihak dalam masyarakat.


Konflik Destruktif

konflik destruktif adalah konflik yang merusak. Ada korban dan rusaknya fasilitas infrastruktur dan harta benda
Konflik Sosial seringkali merusak dan menyebabkan jatuhnya banyak korban baik terntara maupun rakyat sipil


Konflik Deskruktif adalah konflik yang bersifat merusak karena membuat hubungan antar pihak-pihak yang berkonflik menjadi rusak bahkan putus sama sekali. Konflik ini bersifat negative karena memutus hubungan  hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik; hubungan menjadi rusak atau bahkan lebih menjadi hancur tanpa  bisa dibangun kembali. 

Di bawah ini adalah dampak negatif konflik destruktif:
  1. Menyebabkan Keretakan hubungan, suatu kondisi di mana hubungan antar pihak yang berkonflik yang sebelum konflik dalam keadaan baik dan harmonis menjadi kurang baik atau kurang harmonis.
  2. Mencipatalan Kerusakan: konflik yang disertai dengan kekerasan fisik bisa menyebabkan rusaknya harta benda dan hilangnya nyawa manusia dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
  3. Terjadinya perubahan kepribadian. Ini terjadi sebagai akibat dari pengalaman traumatis yang mempengaruhi alam bawah sadar si korban. Perubahan kepribadian itu bisa muncul dalam bentuk stress, depresi, gila dan gejala sakit jiwa lainnya.
  4. Tercipta pola baru hubungan antar kelompok. Di satu sisi, ada dominasi kelompok pemenang. Kelompok tersebut akan menguasai semua sektor publik. Di sisi lain ada kelompok yang kalah. Kelompok itu akan  tersisih dari semua sektor publik dan mengalami perlakuan diskriminatif dalam berbagai aspek kehidupan. 

Penyelesaian Konflik Sosial

Penyelesaian konflik adalah upaya menangani konflik demi dua tujuan. Pertama, penyelesaian konflik demi tujuan minimal, yaitu agar hubungan antar dua pihak yang berkonflik tidak semakin buruk. Dalam banyak kasus ada banyak konflik terutama yang berbentuk kekerasan meninggalkan kenangan pahit yang traumatis dan sulit didamaikan, dimaafkan dan dilupakan oleh kedua belah pihak. Konflik seperti itu kadang-kadang dibiarkan menggantung dan bersifat laten. Berhadapan dengan konflik seperti itu, masing-masing pihak yang berkonflik harus mencari jalan yang tepat agar hubungan kedua pihak yang berkonflik itu yang sejatinya sudah buruk tidak semakin buruk. 

Kedua, penyelesaian konflik demi tujuan maksimal, yaitu agar hubungan antar dua pihak yang berkonflik menjadi semakin baik dan berkualitas. Konflik tidak perlu ditakuti karena konflik justru menunjukkan hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik itu bersifat dinamis. Konflik menunjukkan bahwa ada pihak yang tidak puas atau tidak setuju dengan keadaan yang ada. Bila ketidaksetujuan atau ketidakpuasan itu dikelola secara baik, maka hubungan yang ada akan semakin baik karena muncul sikap saling mendengarkan dan saling memahami. Misalnya perbedaan pendapat antar suami-isteri yang baru atau antar sahabat, bila didengar dan ditanggapi secara baik bisa membuat hubungan suami-isteri atau persahabatan akan semakin baik dan berkualitas.


1. Penyelesaian Konflik Antar Kelompok Sosial 


Dilihat dari jumlah orang terlibat dalam konflik, bisa dibedakan antara konflik antar individu dengan konflik antar kelompok dan kelas sosial. Konflik antar kelompok dan kelas sosial bisa dikendalikan dengan beberapa cara, di antaranya:

  1. Konsiliasi: Konsiliasi berasal dari kata consili artinya pertemuan. Konsiliasi adalah bentuk penyelesaian konflik di mana lembaga tertentu yang punya kekuasaan atau wewenang mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik yang memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang adil.Syaratnya: lembaga harus otonom, bersifat monopolitis, harus berperan aktif dan demokratis
  2. Mediasi: Bentuk penyelesaian konflik di mana pihak-pihak yang berkonflik menunjuk pihak ketiga sebagai mediator. Tugas mediator adalah memberi nasihat dan pencerahan agar irasionalitas pihak-pihak berkonflik dikikis. Selanjutnya keputusan penyelesaian konflik ada di tangan pihak-pihak yang berkonflik.
  3. Arbitrasi: Bentuk penyelesaian konflik di mana pihak ketiga dihadirkan sebagai pemberi keputusan yang mengikat pihak-pihak yang berkonflik. Keputusan apapun harus ditaati oleh pihak-pihak yang berkonflik.

Selain cara-cara di atas, konflik juga dapat diselesaikan dengan cara-cara yang dikemukakan oleh George Simmel, di antaranya:

  1. Kemenangan satu pihak dalam sebuah konlik atau kekerasan sehingga lawan yang kalah tidak memiliki kekuataan apa-apa untuk melanjutkan konflik. Cara seperti ini terjadi pada Perang Dunia II, di mana Sekutu mengalahkan Jepang dengan menjatuhkan bom atom atas kota Hirosima dan Nagasaki.
  2. Kompromi, yaitu bentuk penyelesaian konflik di mana pihak-pihak yang berkonflik saling memberikan kelonggaran sehingga tidak ada yang sepenuhnya menang dan tidak ada yang merasa kalah atau dikalahkan.
  3. Rekonsiliasi bentuk penyelesaian di mana pihak-pihak yang berkonflik saling bertemu kembali dan mengupayak an perdamaian di antara mereka.
  4. Saling memaafkan adalah bentuk penyelesaian di mana satu pihak yang diperlakukan tidak baik atau kedua-duanya memberikan maaf pada pihak lawan dan meniadakan niat untuk membalas dengan maksud untuk memutuskan rantai konflik. Ini terjadi misalnya ketika Nelson Mandela setelah bebas dari penjara memaafkan penguasa minoritas kulit putih di Afrika Selatan.
  5. Bersepakat untuk tidak berkonflik, suatu bentuk penyelesaian konflik di mana pihak-pihak yang berkonflik sepakat untuk tidak lagi melanjutkan konflik yang melelahkan dua belah pihak.



2. Penyelesaian Konflik Antar Pribadi


Ada dua hal paling penting dalam konflik, yaitu pertama tujuan dan kedua adalah hubungan. Terkait dengan tujuan, biasanya konflik sosial terjadi karena dua orang memperebutkan tujuan yang sama. Tujuan itu bisa berupa benda, pandangan, kedudukan ataupun pengaruh di mana setiap orang  berusaha untuk mendapatkannya atau memaksakan kehendaknya. 

Namun, memaksakan kehendak bisa membuat hubungan sosial rengggang, menciptakan rasa sakit hati dan bahkan menghancurkan hubungan sosial. Konflik juga dapat memicu emosi negatif seperti marah, kecewa, dan frustrasi, yang dapat mengganggu interaksi sosial dan memengaruhi cara individu berinteraksi satu sama lain.

Karena itu, setiap orang atau kelompok perlu memiliki pemahaman yang baik dan mendalam terhadap setiap potensi konflik dalam interaksi sosial. Petakan seberapa penting  tujuan yang dipertaruhkan dalam konflik dan seberapa bernilai hubungan sosial dengan orang atau kelompok lain. 

Berdasarkan dua hal penting itu, direkomendasikan beberapa gaya pengelolaan konflik yang umum digunakan oleh individu dalam mengatasi konflik. Berikut adalah beberapa gaya pengelolaan konflik yang umum:

  1. Penghindaran: Gaya ini melibatkan menghindari atau mengabaikan konflik. Individu yang menggunakan gaya ini cenderung menghindari konflik atau menunda penyelesaiannya. Ini dapat dilakukan dengan menghindari kontak atau memilih untuk tidak membicarakan masalah dengan pihak lain. Gaya penghindaran ini dapat berguna dalam situasi di mana konflik tidak terlalu penting atau di mana tidak ada solusi yang jelas.
  2. Penyelesaian kolaboratif: Gaya ini melibatkan kerja sama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama. Individu yang menggunakan gaya ini cenderung mempertimbangkan kebutuhan, kepentingan, dan pandangan dari kedua belah pihak, serta mencari solusi yang saling menguntungkan.
  3. Penyelesaian kompromi: Gaya ini melibatkan mencapai kesepakatan di mana kedua belah pihak harus memberi sedikit untuk mencapai kesepakatan. Individu yang menggunakan gaya ini cenderung mencari solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, meskipun solusi ini mungkin tidak memenuhi kebutuhan atau keinginan mereka sepenuhnya.
  4. Penyelesaian dengan paksaan: Gaya ini melibatkan menggunakan kekuatan atau otoritas untuk memaksakan kehendak mereka pada pihak lain. Individu yang menggunakan gaya ini cenderung mengabaikan kebutuhan dan kepentingan pihak lain dan hanya fokus pada kepentingan mereka sendiri.
  5. Penyelesaian akomodatif: Gaya ini melibatkan individu yang memberi keuntungan pada pihak lain dan mengabaikan kepentingan mereka sendiri. Individu yang menggunakan gaya ini cenderung memilih untuk memberi pihak lain apa yang mereka inginkan demi menjaga hubungan sosial.

Daftar Pustaka:

  1. Coser, L. A. (1956). The functions of social conflict. Routledge.
  2. Galtung, J. (1969). Violence, peace, and peace research. Journal of Peace Research, 6(3), 167-191.
  3. Deutsch, M. (1973). The resolution of conflict: Constructive and destructive processes. Yale University Press.
  4. Kriesberg, L. (2007). Constructive conflicts: From escalation to resolution. Rowman & Littlefield.



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url